Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku
membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah
terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami
sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah,
aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah
benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku
selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci
ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock
bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya
dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya
aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku
tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB
dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam
sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari
empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah
kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang
sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak
hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku
mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu
berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan
anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang
menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari
itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku.
Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak
dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum
ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba
waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya
aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun
merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku
tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf
sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke
tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya
menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku
mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai
bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski
masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak.
“Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama
salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup
telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat
keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi
jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone
suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya.
Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku
diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum
lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku
terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan
diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang
polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini
ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya
terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya
ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah
bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga
tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya
diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku
tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan
segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar
dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan
karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali
tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah
aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya
yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat
semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak
berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras
membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur
prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku
berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku
teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi
terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku
tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar
mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku
tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak
pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang
kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat
pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku
begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang
kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama
ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk
bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku
sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang
datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang
datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap
esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu
aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami,
tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu
aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,
sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak
mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang
dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan
karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku
sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah
tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan
baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku
agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi
padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada
suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku
yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang
hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh
hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya
selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah
yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi
dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor
tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak
pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah
darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu
sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku
terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan
sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat
tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi
suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf
karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan
menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu
untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.
Teruntuk
Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku.
Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke,
Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu
bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan
deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup
berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku
hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada
kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih
begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk
anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra
putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku
harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa
yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau
akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian
akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. ''Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya
karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
begitu tulus''.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar